Rabu, 16 Desember 2009

makalah orde baru

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Bhineka Tunggal Ika. Ini salah satu ciri khas Bangsa Indonesia. Beraneka ragam Suku Bangsa, Bahasa dan Agama yang mengakibatkan keanekaragaman Adat Istiadat dan Budaya. Kemajemukan ini merupakan Anugerah besar dari Alloh SWT. di satu sisi, tapi menimbulkan permasalahan besar dalam pengelolaannya.

Bagaimana tidak ? Diperlukan pengetahuan yang luas mengenai keinginan dan kebutuhan tiap individu dan golongan. Diperlukan kebijaksanaan yang tinggi untuk mengatur penyelenggaraan berbagai kepentingan. Diperlukan keadilan yang luhur untuk membagi sumber daya alam kepada seluruh penduduk yang memiliki hak yang sama.

Mengetahui rumitnya persoalan di atas, menjadi menarik untuk mengkaji bagaimana seharusnya Tipikal dan Kinerja seorang Kepala Negara yang sekaligus merangkap Kepala Pemerintahan, di bumi Alloh ini. Mengingat Orde Baru adalah rejim yang paling lama berkuasa, alangkah bijak kita mempelajarinya untuk menjadi pelajaran berharga bila kelak kesempatan memimpin itu datang.

B. RUMUSAN MASALAH

Bangsa Indonesia adalah Bangsa besar yang majemuk. Untuk mencapai Masyarakat yang sejahtera dalam arti terpenuhi semua kebutuhan hidup dengan aman dan damai serta adil, sangat tergantung kepada siapa yang memimpin dan apa tujuan dari kepemimpinannya tersebut.

Berdasarkan hal di atas, timbul pertanyaan sebagai berikut :

  1. Bagaimana Tipikal seorang Soeharto yang dapat bertahan selama 32 tahun berkuasa di Indonesia ?
  2. Bagaimana arah kebijaksanaan Bapak Pembangunan beserta Jajarannya dalam memenuhi seluruh kepentingan Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke ?
  3. Apa saja Hasil yang telah didapat Bangsa ini selama masa pemerintahan Orde Baru tersebut ?

B. T U J U A N

Menyimak latar belakang dan mengetahui rumusan masalah di atas, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai. Sebagai sorang Pelajar dan sekaligus salah satu Rakyat Indonesia yang merasa ikut memiliki kebesaran Indonesia, tujuan yang dicanangkan adalah sebagai berikut :

  1. Pengetahuan Umum tentang bagaimana seharusnya kita hidup bernegara dan berbangsa,
  2. Menjadi pelajaran hidup tentang sebuah perjuangan panjang untuk membangun sebuah Bangsa menjadi besar,
  3. Memetik hikmah untuk mengikuti yang baik dan meninggalkan yang buruk, kelak ketika jabatan sudah ada di tangan.

BAB 11

LANDASAN TEORI

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno.

Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar.

A. Masa Jabatan Soeharto

Pada 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan 5 tahun sebagai presiden, dan dia kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998.

a. Politik

Presiden Soeharto memulai "Orde Baru" dalam dunia politik Indonesia dan secara dramatis mengubah kebijakan luar negeri dan dalam negeri dari jalan yang ditempuh Soekarno pada akhir masa jabatannya.

Salah satu kebijakan pertama yang dilakukannya adalah mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan bahwa Indonesia "bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB", dan menjadi anggota PBB kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia diterima pertama kalinya.

Pada tahap awal, Soeharto menarik garis yang sangat tegas. Orde Lama atau Orde Baru. Pengucilan politik - di Eropa Timur sering disebut lustrasi - dilakukan terhadap orang-orang yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia. Sanksi kriminal dilakukan dengan menggelar Mahkamah Militer Luar Biasa untuk mengadili pihak yang dikonstruksikan Soeharto sebagai pemberontak. Pengadilan digelar dan sebagian dari mereka yang terlibat "dibuang" ke Pulau Buru.

Sanksi nonkriminal diberlakukan dengan pengucilan politik melalui pembuatan aturan administratif. Instrumen penelitian khusus diterapkan untuk menyeleksi kekuatan lama ikut dalam gerbong Orde Baru. KTP ditandai ET (eks tapol).

Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat. DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat. Pembagian PAD juga kurang adil karena 70% dari PAD tiap provinsi tiap tahunnya harus disetor kepada Jakarta, sehingga melebarkan jurang pembangunan antara pusat dan daerah.

Soeharto siap dengan konsep pembangunan yang diadopsi dari seminar Seskoad II 1966 dan konsep akselerasi pembangunan II yang diusung Ali Moertopo. Soeharto merestrukturisasi politik dan ekonomi dengan dwitujuan, bisa tercapainya stabilitas politik pada satu sisi dan pertumbuhan ekonomi di pihak lain. Dengan ditopang kekuatan Golkar, TNI, dan lembaga pemikir serta dukungan kapital internasional, Soeharto mampu menciptakan sistem politik dengan tingkat kestabilan politik yang tinggi.

b. Eksploitasi sumber daya

Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini, dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.

c. Warga Tionghoa

Warga keturunan Tionghoa juga dilarang berekspresi. Sejak tahun 1967, warga keturunan dianggap sebagai warga negara asing di Indonesia dan kedudukannya berada di bawah warga pribumi, yang secara tidak langsung juga menghapus hak-hak asasi mereka. Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia terutama dari komunitas pengobatan Tionghoa tradisional karena pelarangan sama sekali akan berdampak pada resep obat yang mereka buat yang hanya bisa ditulis dengan bahasa Mandarin. Mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.

Satu-satunya surat kabar berbahasa Mandarin yang diizinkan terbit adalah Harian Indonesia yang sebagian artikelnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Harian ini dikelola dan diawasi oleh militer Indonesia dalam hal ini adalah ABRI meski beberapa orang Tionghoa Indonesia bekerja juga di sana. Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.

Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa yang populasinya ketika itu mencapai kurang lebih 5 juta dari keseluruhan rakyat Indonesia dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan[rujukan?].

Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.

B. Perpecahan Bangsa

Di masa Orde Baru pemerintah sangat mengutamakan persatuan bangsa Indonesia. Setiap hari media massa seperti radio dan televisi mendengungkan slogan "persatuan dan kesatuan bangsa". Salah satu cara yang dilakukan oleh pemerintah adalah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.

Pada awal Era Reformasi konflik laten ini meledak menjadi terbuka antara lain dalam bentuk konflik Ambon dan konflik Madura-Dayak di Kalimantan.[1] Sementara itu gejolak di Papua yang dipicu oleh rasa diperlakukan tidak adil dalam pembagian keuntungan pengelolaan sumber alamnya, juga diperkuat oleh ketidaksukaan terhadap para transmigran.

C. Kelebihan sistem Pemerintahan Orde Baru

· Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000

· Sukses transmigrasi

· Sukses KB

· Sukses memerangi buta huruf

· Sukses swasembada pangan

· Pengangguran minimum

· Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)

· Sukses Gerakan Wajib Belajar

· Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh

· Sukses keamanan dalam negeri

· Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia

· Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri

D. Kekurangan Sistem Pemerintahan Orde Baru

· Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme

· Pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat

· Munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua

· Kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya

· Bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin)

· Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan

  • Kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan yang dibreideli
  • Penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius" (petrus)
  • Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintahan presiden selanjutnya)

E. Krisis finansial Asia

Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi Asia (untuk lebih jelas lihat: Krisis finansial Asia), disertai kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir dan harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal dipercepat. Para demonstran, yang awalnya dipimpin para mahasiswa, meminta pengunduran diri Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang Wakil Presiden, B. J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia.

F. Pasca-Orde Baru

Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk kemudian digantikan "Era Reformasi".

Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa Orde Baru di jajaran pemerintahan pada masa Reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa Orde Baru masih belum berakhir. Oleh karena itu Era Reformasi atau Orde Reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru".

G. Sistem Politik Orde Baru Tidak Bisa Memberantas Korupsi

Reaksi terhadap tulisan Sdr Anwar Hasyim “ Betulkah kekayaan Presiden Suharto mencapai 16 milyar dollar AS ?” (Apakabar 23 Juli 1997) dan tulisan Sdr Atmo Prakoso “Korupsi hanya bisa dibrantas kalau Pak Harto turun jabatan dan sistem politik Orde Baru diganti” (Apakabar 19 Juli 1997)

- Korupsi yang merajalela di Indonesia adalah produk atau akibat sistem politik dan struktur kekuasaan

- Korupsi hanya bisa dibersihkan sesudah gulungtikarnya Orde Baru lewat revolusi politik

Oleh : Mohtar Rivai
(yang pernah ikut dalam pertempuran 10 November 1945 di kota Surabaya dan sekitarnya)

Dalam tulisan-tulisan yang sudah disiarkan lewat Apakabar, sudah sering dikemukakan bahwa kehadiran Pak Harto di pucuk pimpinan negara merupakan sumber dari banyak penyakit parah dan penyebab terjadinya berbagai “ketidakberesan” dalam kehidupan bangsa. Juga telah sering diungkap, bahwa selama Pak Harto masih menjadi presiden, maka segala usaha untuk mengadakan perbaikan atau perobahan yang mendasar dalam kehidupan politik dan pemerintahan akan sia-sia belaka. Dan, bahwa perobahan lewat digulingkannya Orde Baru secara politik adalah satu-satunya jalan untuk dapat dibrantasnya korupsi dan kolusi.

Sepintas lalu, bagi sementara orang, kalimat-kalimat itu bisa dianggap “berbau subversif” dan mengandung unsur-unsur “destabilisasi kekuasaan yang sah”, “melawan undang-undang” atau, se-tidak-tidaknya menghina nama baik kepala negara. Sebaliknya, realitas yang terdapat di negara kita selama 30 tahun Orde Baru telah menyajikan banyak bukti-bukti bahwa sistem politik, yang dipaksakan oleh Pak Harto dengan berbagai cara, memang telah menjuruskan bangsa kita ke muara kerusakan moral yang serius dan kemacetan kehidupan demokratis.

Tulisan Sdr Anwar Hasyim menyebutkan, antara lain : “Terlepas dari soal sampai mana kebenarannya, tersiarnya berita tentang kekayaan Presiden Soeharto sebesar 16 milyar US$ menunjukkan bahwa sistem politik Orde Baru sudah perlu dirobah, bahkan dibuang sama sekali, untuk diganti dengan sistem yang lebih sesuai dengan arus zaman, dan yang bisa menunjukkan bahwa bangsa ini adalah bangsa yang beradab. Reformasi politik sudah makin terasa urgen, yang bisa mencegah adanya seorang kepala negara bisa memonopoli kekuasaan yang begitu besar, sehingga tidak bisa lagi dikontrol oleh rakyat, melalui lembaga-lembaga yang mewakili kepentingan publik. Tetapi, berdasarkan pengalaman selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru, kita telah menyaksikan bahwa reformasi di bidang politik adalah tidak mungkin. Sistem politik yang dikendalikan oleh Presiden Suharto tidak menghendaki adanya perobahan atau perombakan.”

Untuk melengkapi fikiran-fikiran yang sudah diutarakan di atas, bisalah kiranya ditambahkan bahwa hanyalah ilusi belaka, kalau ada orang yang beranggapan bahwa perbaikan-perbaikan mendasar bisa diadakan selama sistem politik model Orde Baru masih ditrapkan secara paksa di bumi Indonesia. Tentu saja, segala macam sarjana politik bisa saja terus membuat makalah-makalah mengenai perlunya perbaikan, dan baik jugalah bahwa pakar-pakar ekonomi mengajukan fikiran-fikiran tentang bagaimana membrantas korupsi, dan berguna pulalah bahwa ahli-ahli hukum terus memprotes penyelewengan-penyelewengan yang banyak terjadi. Ini semua perlu dilakukan terus. Tetapi, adalah hanya khayalan besar saja, kalau ini semua dilakukan dengan dasar fikiran bahwa perbaikan mendasar dan perobahan radikal bisa terjadi selama Orde Baru masih tegak.

Perbaikan dan perobahan di Indonesia tidak bisa dilakukan “DALAM sistem” atau “BERSAMA sistem” Orde Baru. Perobahan fundamental hanya bisa terjadi dengan mengusahakannya lewat perjuangan yang dikembangkan oleh kekuatan politik “DILUAR sistem”. Dan itu berarti bahwa perjuangan kekuatan politik “diluar sistem” ini, pada akhirnya, akan bentrokan dengan “sistem” politik Orde Baru. Bentrokan ini bisa terwujud dalam berbagai bentuk dan cara, dan dalam berbagai bidang, dan tidak mesti atau selalu harus melalui kekerasan fisik yang mengakibatkan korban darah, harta-benda atau nyawa. Bentrokan antara yang menginginkan perobahan (yang terdiri dari berbagai golongan dalam masyarakat) dan yang menentang perobahan (Presiden Soeharto, Golkar, Abri dan sebagian dari birokrasi) adalah hal yang terelakkan.

Bentrokan-bentrokan ini sudah terjadi sejak berdirinya Orde Baru, secara sporadis di-sana-sini dan dalam skala yang relatif masih kecil, dan karenanya mudah ditumpas. Selama dua tahun terakhir ini, bentrokan-bentrokan ini makin mencuat, dan mengambil bentuk yang lebih berarti, sampai memakan korban jiwa dan harta-benda. Demonstrasi besar-besaran di Gambir tahun 1996, peristiwa penyerbuan gedung PDI Jalan Diponegoro, peristiwa Ujungpandang, Situbondo, Tasikmalaya, Sampang, Bangil Pasuruan, dan kerusuhan dalam kampanye pemilu 97 adalah bagian dari gelombang-gelombang perbenturan-perbenturan dengan sistem politik Orde Baru. Dipenjarakannya sejumlah pemuda-pemudi pimpinan PRD dan PUDI dan Pakpahan juga bukti tentang terus berlangsungnya bentrokan politik. Demikian juga pemogokan buruh di mana-mana, dan aksi-aksi massa untuk mendukung perjuangan politik dan gerakan moral Megawati.

Mengusahakan perobahan yang fundamental (revolusi politik), adalah hak rakyat Indonesia, dan bahkan merupakan kewajibannya. Dalam kaitan ini, bisalah diartikan bahwa usaha berbagai gerakan pro-perobahan atau pro-demokrasi di Indonesia untuk mengganti sistem politik dan pemerintahan yang sekarang adalah perjuangan politik yang sah dan gerakan moral yang mulia. Adalah hak dan kewajiban warganegara Indonesia untuk menyatakan perang jihad terhadap korupsi dan kolusi yang dijalankan oleh pejabat-pejabat Orde Baru di berbagai kalangan. Adalah hak dan kewajiban warganegara Indonesia untuk melawan penyalahgunaan kekuasaan secara se-wenang-wenang. Adalah hak dan kewajiban warganegara Indonesia untuk tidak tunduk kepada peraturan-peraturan Orde Baru yang salah dan merugikan rakyat banyak.

Tidak menyukai sistem politik Orde Baru, bahkan menentangnya pula, adalah hak politik rakyat. Jelasnya, menentang suatu politik Orde Baru bukanlah suatu kejahatan, dan bukan pula sesuatu yang terlarang. Dalam situasi tertentu dalam sejarah rakyat Indonesia, bahkan menentang suatu politik pemerintahan adalah tindakan yang benar dan merupakan missi yang mulia. Dalam kaitan ini baik jugalah kiranya kita ingat perjuangan para perintis kemerdekaan yang sudah “melanggar hukum yang berlaku” atau yang menentang “peraturan-peraturan yang sah” dari pemerintah kolonial Belanda (dan Jepang), sehingga mereka meringkuk di banyak penjara kolonial dan dibuang ke Digul. Sejarah perjuangan Bung Karno dan Bung Hatta bisa memberikan contoh.

Sistem politik Orde Baru dibawah komando Presiden Soeharto adalah sistem kekuasaan yang tidak mau menerima kontrol dari rakyat dan memandang rendah martabat rakyat. Padahal, prinsip-dasar demokrasi, atau jiwa demokrasi, adalah bahwa rakyatlah yang harus menjalankan kedaulatannya. Kasarnya, rakyatlah yang memerintah. Prinsip inilah yang telah dianggap sepi saja oleh struktur kekuasaan politik Orde Baru. Struktur kekuasaan Orde Baru telah menjadikan perangai para penguasa menyerupai pemilik-tunggal negeri ini, yang dengan kepongahan telah menjadikan rakyat sebagai kuda tunggangan, sambil menjarah kekayaan negeri secara beramai-ramai.

Pengertian-dasar republik (res publica), yalah bahwa segala sesuatunya adalah demi dan untuk umum. Umum/rakyat/publik , yaitu pemilik negeri ini, “meminjamkan” kekuasaan kepada pemerintah, termasuk kepada presiden republik, untuk mengatur negara dan menjalankan pemerintahan. Mereka ini, para penguasa (termasuk presiden) adalah, kasarnya, “pegawai” rakyat. Rakyatlah yang membayar gaji mereka. Mereka dipinjami – oleh rakyat - kekuasaan untuk mengatur negeri, dan bukan untuk menyalahgunakaan kekuasaan, termasuk melakukan korupsi dan kolusi guna memperkaya diri. Karenanya, pemerintah, termasuk presiden, harus memberikan pertanggungan-jawab kepada rakyat (antara lain, lewat dewan perwakilan rakyat).

Tetapi, sistem politik Orde Baru sudah merusak dan menjungkir-balikkan ini semua. Presidennya sudah mengangkat dirinya sebagai raja absolut, dengan mengangkangi kekuasaan yang luar biasa besarnya. Selama 30 tahun menjabat kedudukan sebagai presiden, berbagai tindakan atau tingkah-lakunya menunjukkan bahwa ia sudah “lupa” kepada prinsip-dasar “res publica”, yaitu bahwa kekuasaan yang dipegangnya adalah sebenarnya pinjaman dari rakyat, untuk ikut mengatur negeri, dan bukannya untuk mengumpulkan kekayaan yang sampai 16 milyar US$. ! Perangai yang serupa juga diperlihatkan oleh banyak pejabat-pejabat Orde Baru di berbagai tingkat, yang sering menunjukkan dengan kecongkakan - yang tidak sepantasnya - bahwa mereka menganggap negeri ini adalah hanyalah milik mereka sendiri saja. Kita bisa saksikan gejala-gejala semacam ini di Jakarta, di propinsi, di kabupaten dan di kecamatan di seluruh Indonesia. Tingkah-laku pejabat-pejabat ini membuktikan bahwa mereka “lupa” bahwa missi mereka adalah mengabdi kepada kepentingan rakyat, dan bukannya untuk memperalat atau memusuhi rakyat. Skali lagi, mereka adalah “pegawai” rakyat, dan bukan sebaliknya, menjadi “tuan” yang berdiri di atas rakyat.

Sudah 30 tahun lamanya, kita menyaksikan bahwa sistem kekuasaan Orde Baru ini dengan arogansi telah meremehkan martabat rakyat, memandang rendah daya fikir rakyat, menganggap sepi aspirasi rakyat. Dengan kesombongan “kekuatan senjata” sistem ini telah “menggebug” berbagai golongan dalam masyarakat yang tidak menyokong politik Orde Baru, dan yang ingin ikut juga “berbicara” mengenai urusan-urusan republik sebagai pemilik-bersama negeri ini. Rakyat, yang merupakan sumber “mandat” fihak eksekutif (presiden, kejaksaan agung, kepolisian, Abri dll) telah dibungkam mulutnya, dan diborgol gerak-geriknya. Pemerintah telah memandang rakyat sebagai fihak yang harus “dihadapi” sebagai lawan, dan bukannya kawan, dengan jalan memaksakan 5 UU Politik : UU Pemilu (UU N° 1/1985), UU tentang Susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD (UU N° 2/1985), UU tentang partai politik dan Golkar (UU N°3/1985), UU tentang referendum (UU N°5/1985), dan UU tentang ormas (UU N°8/1985).

Dengan lima UU Politik ini, sistem kekuasaan Orde Baru telah membatasi kegiatan-kegiatan masyarakat dalam bidang politik, menutup saluran-saluran aspirasi demokratik, mencegah golongan-golongan dalam masyarakat untuk mempersoalkan problem-problem besar negara dan rakyat. Lima UU Politik ini digunakan untuk membiarkan rakyat “bodoh politik”, sehingga mudah dimanipulasi dan “ditundukkan”. Juga untuk mencegah lahirnya kekuatan-kekuatan dalam masyarakat yang bisa mempersoalkan “missi” Orde Baru. Akibatnya : organisasi-organisasi mahasiswa dan pemuda menjadi lemah, buruh-buruh dibiarkan menderita pemerasan tanpa pembelaan, dewan-dewan perwakilan rakyat menjadi kumpulan togog-togog yang tidak pantas dan tidak berhak menamakan diri “wakil rakyat”, hakim dan jaksa tidak berani menjalankan tugasnya secara jujur, penyimpangan tugas dan penyelewengan jabatan merajalela. Korupsi pun berkembang tanpa kendali.

Keparahan dan kerumitan problem yang diakibatkan oleh Lima UU Politik menjadi lebih serius lagi bagi kehidupan bangsa dengan ditrapkannya, secara buruk, konsep Dwifungsi ABRI oleh Orde Baru di bawah pimpinan Presiden Suharto. Karena pentrapan yang buruk inilah maka citra ABRI sebagai tentara rakyat sudah tercemar. Orde Baru membuat dosa besar dalam sejarah bangsa, karena telah merusak ABRI. Rakyat kita membutuhkan ABRI yang bisa dibanggakan sebagai pembela bangsa dan negara, seperti yang pernah kita punyai sebelum Orde Baru berkuasa. Waktu itu kita senang mendengar perumpamaan bahwa hubungan ABRI dengan rakyat adalah ibarat ikan dengan air. Tetapi, sekarang ini, perumpamaan itu sudah tinggal menjadi gombal belaka.

Pentrapan yang buruk konsep Dwifungsi ABRI oleh Orde Baru sudah membuat kerusakan-kerusakan besar di berbagai bidang. Terutama sekali dalam bidang moral di kalangan ABRI. Dengan konsep inilah sistem politik Presiden Suharto telah membikin ABRI terlibat, terlalu jauh dan terlalu dalam, dalam urusan-urusan yang bukan bidangnya, terutama di bidang politik. Dengan dalih stabilisator, dinamisator, penjaga UUD 45, pengaman Pancasila, tokoh-tokoh ABRI di berbagai tingkat, telah ditempatkan di-mana-mana : dalam pemerintahan sipil, dalam berbagai macam lembaga politik , dalam sektor-sektor ekonomi, dalam diplomasi dan 1001 bidang lainnya. Pentrapan yang salah konsep Dwifungsi telah melahirkan jaring-jaringan kekuasaan yang ditugaskan untuk mempertahankan tegaknya Orde Baru. Artinya, ditugaskan untuk mempertahankan statusquo dan berhadapan dengan arus perobahan dan perombakan. Kita bisa mengharapkan bahwa angkatan muda dalam ABRI akhirnya, pada waktunya, bisa mengkoreksi kesalahan-kesalahan besar ini, untuk mengembalikan kedudukannya dalam tempat yang terhormat dalam hati rakyat.

Singkatnya, mengingat struktur kekuasaan yang dibangun oleh Orde Baru dibawah pimpinan Presiden Soeharto, kita tidak bisa mengharapkan bahwa perbaikan atau perobahan bisa diusahakan oleh dan lewat sistem politik yang ada sekarang ini, termasuk masalah pembrantasan korupsi. Budaya korupsi sudah “built-in”, sudah inheren, sudah “dari sononya” pada sistem politik Presiden Suharto. Tidak mungkin akan ada “gebrakan” yang berarti yang bisa diharapkan dari sistem ini untuk memerangi korupsi dan kolusi. Contohnya, apa sajakah kiranya yang bisa dilakukan oleh Orde Baru dalam menghadapi persoalan berita tentang kekayaan Pak Harto sebesar 16 milyar US$ ?

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno.

Orde Baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Disamping memiliki kekurangan, orde baru juga memiliki beberapa kelebihan salah satunya sukses memerangi buta huruf.

B. KRITIK / SARAN

Setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Alloh SWT. atas apa yang telah dilakukannya selama hidup. Apalagi seorang Pemimpin dari ratusan juta orang. Selain mempertanggungjawabkan kepada Alloh SWT. juga harus mempertanggungjawabkan kepada orang – orang yang ada di bawah kepemimpinannya.

Berdasarkan hal di atas, saran – sarannya adalah :

1. Sayang kepada keluarga sungguh mulia, tapi bila merugikan Bangsa dan Negara maka ini sudah merupakan perbuatan kriminal. Bisa dicontoh perbuatan Khalifah Umar Bin Abdul ‘Aziz yang mematikan lampu dari biaya Negara ketika akan membicarakan urusan keluarga dengan putranya.

2. Memilah dan memilih Hubungan Kerja Sama dengan Negara atau Organisasi Internasional yang menguntungkan Bangsa dan Negara bukan hanya dalam jangka waktu pendek, tapi juga dalam jangka waktu panjang. Contoh : Ruginya Bangsa dan Negara oleh IMF dan akibat Freeport yang konfliknya terus berkepanjangan sampai saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

Wayan, I Badrika.(2006).Sejarah:Untuk SMA Kelas XI.Jakarta.Erlangga.

www.wikipedia.com

www.google.com

1 komentar: